ZakatPelosokNegeri

Pendistribusian Zakat ke Pelosok Negeri Secara Merata Sebagai Pemenuhan Asas Keadilan

04/02/2024 | Humas

“Sepenggal Surat dari Sang Pelaut: Distribusi Zakat Menyentuh Pelosok Negeri”

Malam yang semakin dingin terus berusaha menusuk ke tulang, suara mesin perahu mengurangi kesunyian. Duduk di bibir pantai ditemani  birunya laut yang mengandung kekayaan Nusantara. Menyaksikan gemerlap jutaan bintang yang memberi kabar tentang orang-orang yang sudah lama bahagia di alam yang berbeda. Aku yakin, diantara jutaan bintang di langit itu pasti ada satu milikiku. Suatu saat nanti aku bisa menggapainya dengan  tekad kuat, perjuangan besar yang disertai doa. 

Aku merupakan satu dari puluhan kepala keluarga yang ada di Gili Maringkik, Lombok Timur. Selain Gili Maringkik, terdapat Gili Re dan Gili Beleq yang saling berdekatan, mernjadi pusat perhatian para turis untuk berkunjung hanya sekadar menjawab rasa penasaran mereka. Meski sekadar Gili namun dihuni oleh orang-orang yang memiliki keberanian dan keyakinan yang kuat bahwa meski jauh dari pusat perkotaan namun syarat akan kesyukuran memiliki ikatan kekeluargaan yang harmonis antar penduduk gili. Sebab, nenek moyang saya juga hidup sampai meninggal di pulau ini. Sehingga, itulah yang menjadi alasan kuat untuk bertahan meski dalam keterbatasan. Anak-anak kami juga sudah bisa bersekolah di Gili  Maringkik. Ya, Gili Maringkik menjadi alah satu Gili yang memerdulikan pendidikan. Sebab, terdapat sekolah Satap (Satu atap) yang terdiri dari TK, SD dan SMP. Sayangnya, kalau anak-anak kami ingin melanjutkan sekolah  ke jenjang SMA maka mereka mau tidak mau harus merantau ke kota. 

Selain sekolah Satap di Gili Maringkik tempat saya tinggal, Gili Beleq juga nampaknya sedang berupaya meningkatkan pendidikan. Uniknya, Gili Beleq dan Gili Re hanya memiliki satu sekolah Satap, yang didirikan di Gili Beleq. Bahkan banyak teman nelayan yang tinggal di Gili Re dan Gili Beleq menyekolahkan anaknya di sekolah yang bernama sekolah (Satap) SD dan SMP Jerowaru yang berlokasi di Gili Beleq. Jumlah siswa di sekolah Satap Gili Maringkik dengan Gili Beleq memang sedikit, sebab penduduk Gili Re, Gili Maringkik dan Gili Beleq bila digabungkan tidak lebih dari empat ratus kepala keluarga. Di tambah minat masyarakat terhadap pendidikan sangat kecil. Bersekolah dengan perjuangan dan pengorbanan.  Sebab fasilitas yang minim membuat mereka banyak yang bercita-cita sebagai Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri, tujuannya hanya untuk mencari uang supaya mampu hidup lebih baik. Namun, ada jua anak-anak yang memiliki cita-cita tinggi, seringkali saya tanya ana-anak yang melanjutkan pendidikan di kota, mereka ingin menjadi seorang penguaha, pendidik bahkan pejabat. Tapi saya percaya mereka pasti mampu mewujudkannya jika sanggup  bersabar jika suaktu-waktu mempertaruhkan nyawa untuk menaklukkan medan, menikmati fasilitas di ambang ketidaklayakkan. 

Aku terlahir dari keluarga ekonomi paling bawah, tidak jarang menghabiskan waktu untuk mencari nafkah dengan menjaring ikan. Menyerahkan hasil jual ikan untuk membeli beras. Tubuh kurus ini sering kali ingin istirahat, sebab tidak sedikit penderitaan yang terasa. Sampai saat ini kakiku selalu bengkak dan berdarah karena tergores karang yang tajam selama berenang menyusuri medan. Akan tetapi kutepis sakit itu. Mengorbankan sepotong penderitaan demi melukis senyum di wajah manis keluarga kecilku.

Sering kali anak saya meminta uang untuk sekadar bisa menyebrang menuju ke Tanjung Luar, Tanjung Luar merupakan desa yang dimanfaatkan untuk berbelaja karena bagian terluar dari kota di Lombok Timur. Untuk bisa sampai ke sana, istri dan anak saya harus menunggu waktu subuh dan menyediakan uang lima belas ribu untuk sekali bolak balik. Terkadang mereka harus menahan tangis di saat aku tidak memenuhi permintaan mereka bahkan sering menyalahkan diri.

  “Pak, ada kebutuhan sekolah yang harus  dibeli namun tidak ada di Gili Maringkik, apakah ada uang untuk nyeberang dan membeli buku, Pak?” Tanya anakku sedikit malu dari dalam kamar dengan suara pelan.

“Maafkan Bapak, Nak. Serupiah pun bapak tidak punya uang, kamu istirahat saja.kamu sabar dulu, ya.” Jawabku pelan, di depan pintu kamar meski tetap kudengar suarana merengek.

Tidak hanya itu, kadang kami mendengar curhatan para nelayan yang ada di Gili Re tentang bagaimana mereka bisa bertahan hidup dan ceita perjalanan anak mereka bisa sampai ke sekolah jika tidak ada uang ongkos membayar perahu yang mengantar mereka ke Gili Beleq seebelum terealisasikanya jembatan antar Gili re dengan Gili beleq. Aku teringat betul bagaimana anak-anak Gili Re ketika belum dibuatkan jembatan penghubung menuju ke Gili Beleq. Ketika mereka tidak memiliki uang untuk membayar ongkos perahu, mereka tidak sama sekaili mengerutkan dahi apalagi menangis tersendu-sendu. Mereka justru membuka seragam dan menggunakan baju bermain untuk menyeberangi lautan. Mereka mengangkat baju seragam yang diisi oleh tas sekolah. Kondisi anak-anak Gili Re yang menyebrang ke Gili Beleq melawan arus ombak yang sewaktu-waktu bisa merenggut nyawa mereka membuatku semakin empati dengan keterbatasan akses pendidikan. Namun, semangat mereka belajar dan merubah nasib menjadi lebih baik dari kami orang tuanya tentu menjadi alasan besar mereka bertahan.

biru laut berirama angin sepoi-sepoi mengingatkan aku tentang perjuangan mereka saat menyebrang, sembari memupuk pundak rekan saya yang bercerita. Kami sebagai orang tua akan sungguh-sungguh mencari nafkah untuk mereka. Namun, betapa aku sangat bersyukur tentang kabar baik itu, bahwa pemerintah telah membuat jembatan penghubung antara Gili Re dengan Gili Beleq. Kami sebagai orang tua tidak khawatir lagi mendengar dan menyaksikan perjuangan yang sangat menyayat hati kami sebagai orang tua.

Tidak mustahil juga jika suatu saat selain Gili Beleq dan Gili Re yang dihubungkan dengan jembatan penghubung untuk memudahkan intraksi antar masyarakat Gili Beleq dengan gili Re. Saya juga berharap dengan penuh tawakal kepada-Nya bahwa suatu saat Gili Maringkik akan dilirik oleh pemerintah untuk mengetahui bagaimana perjuangan kami. 

Di atas ranjang kayu yang sudah berlapuk. Kusibak jendela kamarku. Bintang gemintang telah pergi, sebentar lagi fajar menyingsing.  Aku segera beranjak dari tempat tidur. Bersiap-siap menyisir rambut keritingku, kemudian  mengompres kakiku yang bengkak. Sedikit usaha supaya tidak terlalu perih saat bertemu asinnya air laut. Sekitar pukul enam pagi beranjak dari rumah.  Matahari belum siap menemani. Berjalan sekitar lima menit hingga sampai ke bibir laut. Kemudian, menanggalkan sepatu dan seragam. Kemudian memasukkannya ke dalam tas. Ketika kakiku menyentuh air laut, teramat perih. Ingin rasanya berteriak dan cepat-cepat membebaskan kakiku ke daratan. Maklum, terkadang saat menangkap ikan, kaki tersandung batu karang lautan. Namun lagi-lagi kutepis keinginan itu. Mengayunkan kedua kaki dan tangan kiri, sedangkan tangan kanan memegang jaring. 

Aku harus cermat memilih jalur yang bersih dari tajamnya terumbu karang supaya telapak kaki yang memar tidak lecet dan berdarah. Aku pun harus pandai bersahabat  dengan arus ombak yang sewaktu-waktu tanpa kabar bisa melenyapkanku. Semua itu tidak menyurutkan semangatku untuk sekolah.

Bersyukur  dan bersabar, dua kata itu seperti mata uang logam yang tidak bisa dipisahkan. Bersabar ketika dihadapkan pada kenyataan harus berkorban atas penderitaan selama menempuh pendidikan. Bersabar menahan perih dan sakit teramat. Namun, Selalu bersyukur bisa melewati medan yang menantang maut. Tuhan selalu memberikan kelancaran hingga bisa sampai ke sekolah. Namun, Tuhan tidak henti-hentinya menguji kesabaranku.

Tidak cukup sampai di sana angin pun ikut berkerja sama dengan ombak tersebut. Lagi-lagi Tuhan menguji batas kesabaranku. Aku terus bertahan dan menguatkan tubuh dari goncangan ombak. Mata ini selalu memandang Gili Maringkik sebagai tempat tinggal bersama keluarga kecilku. Ingin rasanya segera sampai dan lolos dari maut ini. Mencoba melawan arus dan memegang jaringku dengan kekuatan yang baik, agar tidak terbawa arus ombak.  Sayang, harapan tidak sesuai kenyataan. Aku tidak bisa melawan, tubuhku lagi-lagi terbawa arus, aku terus mempertahankan keseimbangan tubuh. Hampir saja aku putus asa. Aku selalu menyemangati diri dengan mengatakan:

“Kamu bisa!  Demi keluarga” 

Setelah mengatakan kalimat itu. Aku, pun terus melawan arus tersebut dan terus membakar semangat. Akhirnya aku naik dengan membawa beberapa ikan hasil tangkapan. Terkadang, ketika di tengah laut, aku sedikit lengah, tubuhku lemas dan kepalaku pusing, sebab perutku belum terisi apapun sejak semalam. Karena kurang fokus, kakiku menginjak terumbu karang. Air laut yang tadinya jernih sekejab berubah menjadi merah, aku terkejut bukan main. Darahnya mengalir deras. Kuangkat kakiku, spontan melepaskan tas berisi seragam. Terbawa arus begitu saja. Kugenggam kakiku yang terus berdarah, luka yang dilukai, perih yang teramat perih. Bagaimana tidak? kakiku yang memar robek seukuran telapak kaki. Sakitnya gila!

Kutahan dalam-dalam rasa sakit teramat. Kubalut luka yang menganga dengan kain yang mengapung di hadapanku. Tuhan tahu aku sedang menantang maut sehingga Tuhan mengirimkan kain itu. Syukurlah, ucapku. Sambil membalut, sambilku berteriak, “Bangkilah! Bangkitlah! Keluargamu ingin melihatmu menggapai mimpi besarmu.” Selangakah demi selangkah mengayunan kaki dan tangan, akhirnya sampai. 

Mengingat kejadian itu aku selalu sedih. Aku berharap setelah menempuh pendidikan SMP, anak-anak di Gili Maringkik dapat melanjutkan sekolah ke jenjang SMA. Namun, terkadang aku pesimis sebab pekerjaanku yang tidak mampu menanggung biaya anak sekolah. Jika ingin melanjutkan ke jenjang pendidikan SMA, maka harus mencari sekolah di luar gili. Menyewa kos, menanggung biaya hidup dan membayar SPP. Rasanya aku tidak kuat membahas rincian biaya yang mengerikan itu. Belum lagi melihat kondisi perekonomianku yang mustahil memenuhi.

Tidak ada mimpi yang terlalu tinggi, yang ada hanyalah usaha yang belum maksimal, adalah kalimat dalam kamus hidupku yang tidak pernah pudar. Syukurlah di hari yang membahagiakan, ibarat sekelebat pelangi hadir setelah badai hujan datang. Ternyata pemerintah mulai melirik warga pelosok negeri di Gili Maringkik ini. Doa dan usahaku tidak sia-sia. Semua ini berkat  keyakinan kita pada-Nya.

 Tanah gersang terasa lengang, Cuaca mendung meski tak kunjung hujan, banyak nelayan masih di tengah lautan, ibu-ibu girang menjemput anaknya yang baru pulang sekolah sembari mengintip lewat tembok sekolah yang berdekatan dengan kantor desa Gili Maringkik yang dikrumuni banyak orang. Maklum saja, setiap bangunan sangat berdekatan di Gili Maringkik karena luas Gili Maringkik yang tidak seluas kota sana. Beginilah kondisi saat masyarakat begitu berbinar dengan kedatangan petugas Amil Zakat Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat yang nampaknya membawa kabar mengembirakan. 

Suara kambing yang saling saut menambah keramaian, kambing yang bebas beraktifitas di Gili Maringkik sudah biasa rasanya, sebab memang begitulah, sangat jarang adanya kandang kambing atau sapi. Masyarakat membebaskan mereka mencari makanan rerumputan, meski rumput beradu dengan banyaknya sampah plastik yang berserakan di pesisir pantai atau gang-gang kecil rumah warga. Belum lagi di tambah nama-nama gang yang sempat membuat petugas Baznas heran bahwa semua nama gang di gili Maringkik bernama jenis-jenis ikan yang sering ditangkap warga.

Setiap pengalaman petama akan sangat berkesan dan sulit dilupakan, seperti kunjungan pertama ketua dan rombongan Badan Amil Zakat (Baznas) Lombok Timur ke Gili Maringkik. Aku benar-benar melihat kebahagiaan yang hadir di tanah Gili Maringkik ini. Aku rasa, kesedihan akan air bersih yang belum tentu tersedia untuk warga serta sayuran yang hanya bisa dimakan sekali seminggu atau perihnya kakiku nampaknya terbayarkan. Semua ini terlihat dari sapa warga yang begitu ramah dan mengungkapkan terima kasih atas kunjungan rombongan. 

Aku sempat menyaksikan beberapa patah kata yang disampaikan lirih oleh ketua Baznas sebagai bentuk pernyataan dan permakluman maksud dan tujuan kedatangannya, bahwa Bapak Ismul Basar selaku ketua Baznas Lombok Timur menyampaikan peyaluran bantuan yang diberikan berupa zakat infak dan sedekah (ZIS) konsumtif kepada warga yang berhak berdasarkan data yang masuk di Baznas. Senyum lama yang belum terukir beberapa lama ini kembali hadir setelah mendengar hal tersebut. 

Pak Ismul Basar menyampaikan “Pendistribusian bantuan ZIS tersebut baru kali pertama dilakukan ke Pulau Maringkik dengan menyasar mustahik yakni masyarakat yang tergolong parkir miskin.” Belum lama, ia menambahkan dengan sedikit penekanan pada kalimat selajutnya yang membuat aku merasa puas dengan upaya Baznas. “Zakat konsumtif yang disalurkan di Gili Maringkik tersebut diperuntukkan kepada 60 warga yang tergolong dalam kategori asnaf dan langsung diterima di kantor desa setempat.”Jelsa Ketua Baznas Lombok Timur tersebut.

Mega merah tak terihat sebab langit masih betah dengan mendung yang berlapis, suasana yang indah dibuktikan dengan ketidakhadiran hujan. Aku coba membayangkan jika hujan tiba-tiba saja memamerkan derasnya, di mana lagi warga berteduh dengan jumlah warga yang hampir setengah dari penduduk Gili Maringkik. 

Aku semakin optimis kalau kedatangan Pak Ketua dengan rombongan Baznas merupakan komitmen untuk memberikan pemerataan pendistribusian zakat kepada semua masyarakat yang berhak menerima. Dugaanku memang tak pernah meleset, selalu tepat sasaran. Buktinya aku mendengar langsung dari pihak Baznas setelah belum lama berpikir macam itu. Bahkan ia menambahkan dengan yakin bahwa meski tempat tinggal warga  jauh dari perkotaan, infak, zakat dan shodaqoh harus tetap didistribusikan kepada siapa saja yang berhak menerima sebab keadilan menjadi salah satu asas pengelolaan ZIS. 

Lebih membahagiakan lagi, selain untuk fakir miskin, pada hari itu Baznas juga memberikan bantuan kepada beberapa warga yang mengidap penyakit untuk biaya pengobatan. Ini menambah yakinku bahwa menunaikan zakat merupakan kewajiban umat islam yang telah memenuhi syarat zakat. Menunaikan zakat merupakan upaya menolong sesama. Maka tidak heran syariat islam sangat mengutamakan permasalahan zakat.

 Gen Z (Generasi Zakat) memang mengetahui bahwa zakat merupakan salah satu rukun islam namun sebagai Generasi Z juga membutuhkan edukasi implementasi zakat. Upaya yang telah dilakukan oleh para petugas zakat adalah edukasi yang mengondisikan serta menyesuaikan perkembangan zaman. Disampaikan dengan penuh jelas, kreatif dan humanis pada generasi Z. Selain menyampaikan dengan kreatif dan humanis dalam edukasi, generasi Z juga dapat menangani permasalahan terkait dengan zakat untuk dicarikan solusi. Bahkan, generasi Z juga dapat menyampaikan aspirasi untuk pembenahan atau perkembangan pengelolaan zakat.

Aku sangat termotivasi dengan pengelolaan zakat yang tidak hanya sebagai bentuk takwa dan sebagai media menjalankan rukun iman namun sebagai upaya melukis senyum di hati orang-orang yang membutuhkan seperti saya. Tidak hanya motivasi untukku sebagai orang tua namun anak-anak yang sebagai Generasi Z Gili Re, Gili Beleq dan Gili Maringkik khususnya juga perlu peduli dengan implementasi zakat. Tentu dalam hal edukasi, generasi perlu mengombinasikan kecerdasan intelektual/nilai akademik (IQ), kecerdasan emosional/ kecerdasan merasa (EQ) dan kemampuan untuk mendengar nurani yang terdalam/kecerdasan spiritual (SQ).  Tentu, kita semua mengharapkan zakat dapat diimplementasikan dengan baik dari para petugas zakat dan generasi Z yang mampu mengombinasikan IQ, EQ dan SQ akan berperan menggaungkan implementasi zakat. Mengapa ini penting? Sebab, generasi tidak sekadar tahu saja tentang apa itu zakat, namun harus dibarengi dengan keimanan atau spiritual untuk dapat mengimplementasikan ibadah zakat. 

Saya percaya para muzaki yang dengan ikhlas berbagi telah tentram atas doa para mustahik yang tak putus syukurnya diberikan sebagian rezeki. Dari pertemuan warga Gili Maringkik dengan Ketua dan rombongan Baznas Lombok Timur menambah giroh saya melayangkan mimpi untuk tetap semangat bekerja dengan harapan  suatu saat nanti saya bisa menjadi seorang muzaki agar bersinergi melukis senyum para mustahik. 

Refrensi:

https://corongrakyat.co.id/kunjungi-gili-maringkik-baznas-lotim-salurkan-zis/

 

 

NUSA TENGGARA BARAT

Copyright © 2025 BAZNAS

Kebijakan Privasi   |   Syarat & Ketentuan   |   FAQ  |   2.2.12